Ia seorang putri dari Umar bin Khaththab bin Naf’al bin
Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku
Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin
Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Ia dilahirkan pada tahun yang
sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya
semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Peristiwa
tersebut terjadi pada 3 tahun sebelum kenabian atau 16 tahun sebelum hijrah.

Ia adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab, putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Umar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.[1]

Ia adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab, putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Umar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.[1]
Keutamaan Hafshah
Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat
ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita
lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat
Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah
kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut
belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.[2]
Hafshah radhiallaahu ‘anha mengisi hidupnya sebagai seorang
ahli ibadah dan ta’at kepada Allah, rajin shaum dan juga shalat, satu-satunya
orang yang dipercaya untuk menjaga keamanan dari undang-undang umat ini, dan
kitabnya yang paling utama yang sebagai Mukjizat yang kekal, sumber hukum yang
lurus dan ‘aqidahnya yang utuh.[2]
Pemilik mushaf pertama
Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al Quran
ditangannya. Dialah istri Nabi SAW yang pertama kali menyimpan Al Quran dalam
bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah Kurma, hingga kemudian menjadi
sebuah Kitab yang sangat agung. Mushaf asli Al Qur`an itu berada dirumah
Hafshah hingga dia meninggal.[2]
Pada masa Khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an
banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad).
Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar
mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada
karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas
desakan Umar, Abu Bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan
Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya.[2]
Kesimpulan
Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin
Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah.
Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara
perempuan Utsman bin Madh’un. Ia dilahirkan 3 tahun sebelum kenabian atau 16
tahun sebelum hijrah. Pernikahan Rasulullah dengannya merupakan bukti cinta kasih beliau kepada
mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin
Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah,
kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar.
Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Ia mempunyai kelebihan dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan. Karena kelebihananya itu, Abu Bakar memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an(untuk dijadikan mushaf), sekaligus menyimpan dan memeliharanya.
Source-Image:
http://reviewit.pk/wp-content/uploads/2015/05/Untitled11.jpg
Sumber :
2.
http://nabimuhammad.info/hafsah-binti-umar/
0 comments:
Post a Comment