“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang
mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka,
lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”.
(Terjemahan QS. Al-An’am [6]: 108)
Di dalam ayat tersebut terdapat
pendidikan akhlak, keluhuran iman, dan terangkatnya dengan orang-orang yang
tidak tahu tentang hakikat-hakikat dan kosongnya hati mereka dari mengenal
Allah dan mensucikan-Nya. Para ulama telah menyebutkan bahwa hukum tetap ada di
dalam umat ini (Islam) apapun kondisinya. Ketika orang-orang kafir punya
kekuatan, tidak tunduk pada kekuasaan Islam dan kaum muslimin, dan ada rasa
takut untuk menghina Islam atau Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam atau Allah ‘azza
wa jalla, maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghina salib
mereka, atau agama mereka, atau gereja-gereja mereka, dan tidak menimpakan apa
yang menyebabkan hal itu. Karena perbuatan seperti itu sama dengan hasutan
untuk berbuat dosa. Ini adalah salah satu jenis perdamaian dan bukti wajibnya
mengambil hukum dengan saddudz dzara’i’
(menutup wasilah-wasilah) yang dapat menjerumuskan kepada dosa).
Orang yang memperhatikan perode Makkah,
yang selama tiga belas tahun semuanya dalam rangka tarbiyah dan persiapan serta
penanaman konsep la ilaha illallah (tiada
illah yang berhak disembah selain Allah), ia akan mengetahui pentingnya akidah
ini, untuk tidak tergesa-gesa dan berpacu dengan waktu. Akidah perlu adanya
sebuah penanaman yang menjanjikan pemeliharaan dan perawatan secara
terus-menerus, di mana tidak perlu terburu-buru dan terjadi kekacauan. Seorang
dai yang mengajak beriman kepada Allah lebih layak untuk berdiri di depan
tarbiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam kepada para sahabatnya tentang akidah
ini, sambil merenungkan dengan lama. Dari situ ia mengambil pelajaran dan
teladan, tidak mungkin bersabar seorang pejuang di tengah-tengah kejahiliahan,
baik yang dulu atau masa kini atau masa depan, kecuali orang-orang yang
bercampur hati mereka dengan keceriaan akidah rabbaniyah dan akar pohon tauhid
menancap ke dalam hati mereka.
Penjelasan
di atas merupakan gambaran ketika kaum muslimin sangat ingin membela diri dan
tampaknya bahwa sikap damai membuat sebagian mereka marah, terkhusus kaum muda.
Abdurrahman bin Auf dan para sahabat datang menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wa
salam di Makkah dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami pernah berada dalam
kemuliaan ketika kami masih musyrik. Tapi ketika kami telah beriman kami
menjadi hina.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “ Sesungguhnya aku diperintah untuk
memaafkan, maka janganlah kalian perangi orang-orang sekarang.”
Secara singkat, di antara sebab-sebab, hikmah, dan
alasan dari peristiwa di atas, yaitu:
a. Menahan
diri dari pertempuran di Makkah adalah mungkin karena periode Makkah adalah
untuk tarbiyah dan persiapan lingkungan tertentu, untuk orang tertentu, di tengah
situasi tertentu. Di antara tujuan tarbiyah di lingkungan seperti itu adalah
mendidik pribadi orang Arab untuk bersabar, di mana umumnya mereka tidak bisa
bersabar dari keluhan ketika jatuh padanya atau pada orang yang berlindung
padanya, tidak pula mereka sabar salam pembebasan seseorang. Karena dengan
tarbiyah ini mereka tidak terburu-buru karena merespon tindakan seseorang, juga
tidak serta merta bergerak karena gerakan seseorang. Dengan demikian
sempurnalah keseimbangan dalam tabiat dan gerakannya. Mereka juga ditarbiyah
untuk mengikuti peraturan masyarakat baru dengan perintah pemimpin yang baru,
di mana ia tidak bertindak kecuali sesuai dengan yang diperintah kepadanya
meski bertentangan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku. Ini menjadi pondasi
utama dalam penyusunan karakter orang Arab yang nantinya menjadi komunitas
muslim.
b. Mungkin
juga karena dakwah yang damai lebih berpengaruh dan lebih terlaksana dalam
lingkungan orang-orang Quraisy yang memiliki kesombongan dan kehormatan. Sebab
jika ditanggapi secara keras mungkin dapat mendorong mereka untuk makin
membangkang dan melahirkan pertumpahan darah baru karena alasan balas dendam
seperti balas dendam Arab yang terkenal macam Dahis, Al-Ghubara’, dan Perang
Al-Basus. Dan apabila saat itu Islam berpindah dari dakwah kepada pembalasan
dendam, maka dasar pemikirannya akan terlupakan.
c. Mungkin
juga untuk menghindari terjadinya pertempuran dan pembunuhan di setiap rumah.
Di sana tidak ada sistem kekuasaan umum yang menyiksa orang-orang beriman, tapi
itu dipercayakan kepada wali masing-masing individu sehingga izin berperang
dalam lingkungan seperti itu bermakna akan terjadi pembunuhan di setiap rumah.
Jika sudah terjadi, maka dengan mudah orang-orang akan berkata, “Itulah Islam!”
Islam memang telah difitnah seperti itu sehingga tidak diperintahkan berperang
pada masa itu. Dalam beberapa musim orang-orang Quraisy menebar propaganda
bahwa Muhammad mencerai-beraikan antara ayah dan anaknya melebihi terhadap kaum
dan keluarganya. Dalam kondisi begini, apa jadinya jika Muhammad memerintahkan
si anak untuk membunuh sang ayah, juga menyuruh terasuh untuk membunuh walinya?
d. Barangkali
juga karena Allah Maha Mengetahui bahwa banyak pembangkang yang memberikan
ujian kepada kaum muslimin perihal agama mereka dan menyiksa mereka. Tapi para
pembangkang itu sendiri akan menjadi tentara Islam yang tulus, bahkan menjadi
panglimanya. Bukankah Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu termasuk salah
seorang di antara mereka?
e. Mungkin
juga karena keberanian orang Arab dalam lingkungan kesukuan biasanya akan
timbul untuk membela kaum tertindas. Hal ini berpotensi membahayakan yang jika
telah terletup perang, maka tak bisa dipadamkan. Terutama jika penindasan
terjadi pada orang-orang terpandang di antara mereka. Banyak fakta sejarah dalam
lingkungan seperti itu telah menguatkan kebenaran pandangan ini. Ibnu
Ad-Dughunnah tidak rela ditinggalkan Abu Bakar yang merupakan orang terpandang
ketika Abu Bakar diusir dari Makkah sehingga ikut hijrah. Ibnu Dughunnah
berubah memandang orang Arab dengan penuh cela hingga dia menawari Abu Bakar
perlindungan. Fakta yang paling hangat adalah pembatalan surat perjanjian
boikot terhadap Bani Hasyim di perkampungan Abu Thalib.
f. Mungkin
juga karena jumlah kaum muslimin ketika itu masih sedikit dan terbatas hanya di
Makkah. Dakwah tampaknya belum sampai ke jazirah lain atau mungkin telah sampai
tapi baru penyebarannya dan belum mendorong orang untuk membelanya. Itu dapat
dilihat dari sikap netral kabilah-kabilah yang tidak ingin mengadakan
pertempuran internal dengan Quraisy dan beberapa generasinya; mereka memilih
melihat perkembangan apa yang terjadi yang berdampak pada nasib mereka. Dalam
kasus seperti itu sangat mungkin peperangan yang terbatas akan berakhir pada
pembersihan komunitas muslim yang berjumlah sedikit. Akhirnya kesyikirikan
tetap ada dan tidak lahir peraturan Islam di muka bumi, tidak mewujud sebagai
realita. Sungguh Islam datang sebagai agama yang mengupayakan manhaj, cara
hidup, peraturan dunia dan akhirat sekaligus.
g. Tidak ada
kondisi darurat yang memaksa untuk mengabaikan pertimbangan bijak lalu
memerintahkan berperang dan menolak penindasan. Sebab target utama dakwah ini
telah terwujud, yaitu eksistensi dakwah. Dakwah mewujud dan eksis dalam pribadi
seorang dai, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dan dalam perlindungan
pedang-pedang Bani Hasyim sehingga tidak ada tangan yang terulur kecuali
terancam dipotong. Karena itulah tidak ada seorang pun yang berani menghentikan
beliau dari menyampaikan dakwah dan mengumumkannya di tempat-tempat berkumpulnya
orang-orang Quraisy di sekitar Ka’bah, di atas bukit Shafa dan di tempat
pertemuan-pertemuan umum. Tidak ada yang berani menangkap atau membunuh beliau
atau memaksa untuk mengatakan sesuatu.
Semoga
bermanfaat dan dapat diserap serta diterapkan di masa sekarang dan masa depan
khususnya untuk para pengemban dakwah. Wallahu’alam
bish-shawab.
Referensi
diambil dari buku dengan:
Judul Asli: As-Sirah An-Nabawiyah
Judul Terjemahan: Sirah Nabawiyah “Ulasan
Kejadian dan Analisa Peristiwa dalam Perjalanan Hidup Rasulullah”
Penulis: Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
Penerjemah: Pipih Imran Nurtsani, Lc; Nila Aqimuddin Ardhillah
0 comments:
Post a Comment